Hati Tulus sang Mentari
by: Nadine Syawali Bakri
Bulan purnama tengah menangis, melempar beberapa kilat ke arah bumi. Rupanya ia sedih, akibat indahnya tertutup oleh gelap awan. Mentari meliuk ketika rasa dingin menyentuh kulitnya. Ketika kelopak matanya terbuka, sebuah foto keindahan pulau Lombok menyambutnya dengan hangat.
Mentari menoleh ke samping, menatap nanar lapangan panti asuhan yang dilanda derasnya hujan dari jendela. Hujan seakan membawa kesedihan dalam setiap tetes airnya, menularkannya kepada Mentari. Tetesan demi tetesan pun jatuh di atas bantal berwarna biru miliknya. Sebuah isakan ikut menimbrung pada kesedihan tengah malam, menghadirkan tanya kepada sang pemilik kasur bawah.
“Mentari, apa kau sedang menangis?” tanya Bulan dengan pikirannya yang terbang entah kemana.
Mentari mengusap air matanya, ia berusaha menarik garis bibirnya upaya menghasilkan selukis bulan sabit.
“Tidak Bulan, mataku sepertinya kemasukan binatang. Tidurlah, aku tak apa,” jawab Mentari.
Mentari menaikan alisnya ketika mendengar tawa Bulan.
“Hahaha… Alasan macam apa itu Tari? Mungkin sebaiknya kamu harus banyak belajar berbohong dari Pelangi,” ucap Bulan seraya menghela napasnya. Ia menjadi tidak resah lagi karena tadi ia sempat menyangka bahwa tangisan itu berasal dari makhluk alam lain.
“Siapa yang memanggil namaku? Aku tidak pernah berbohong ya, sekalipun aku berbohong itu semua untuk kebaikanku.” protes Pelangi.
Sebelum perdebatan hebat terjadi, Mentari harus segera mencegahnya.
“Teman-teman,” panggilan Mentari membuat kedua temanya menyahut dengan nada kesal, “apa menurut kalian kita bisa mewujudkan mimpi kita?”
Pelangi bangkit dari kasurnya, berjalan ke arah kasur tingkat yang berseberangan dengan kasur miliknya.
“Apa maksudmu?” tanyanya dengan bertolak pinggang. Begitu pula dengan Bulan, ia menjinjit melihat Mentari di kasur atas.
Mentari mengubah posisinya, menatap kedua temannya dari atas.
“Ya, kita ini cuman anak panti yang gak punya uang. Gimana kita bisa keliling Indonesia kalo uang nya gak ada?”
Ucapan Mentari mendapat anggukan mantap dari Bulan, “Bener, bagaimana cara kita mendapatkan uang? Perjalanannya tidak murah lho!”
Pelangi menunduk lesu, benar juga yang dikatakan teman-temanya.
“Kita tawakal aja, nanti Allah juga bakal ngasih jalan keluarnya” ucap Pelangi seraya berjalan kearah kasurnya.
Mentari menentang dengan jelas ucapan Pelangi. Ia memanjat turun hingga dirinya sampai di lantai.
“Tawakal itu percuma kalo kita gak berusaha,” ia berjalan mendekati Pelangi yang sudah berbaring di tempat tidurnya.
“Sudahlah, kita bisa pikirkan ini besok,” ucap Pelangi seraya menarik selimutnya. Menenggelamkan kepalanya pada kegelapan malam dan bersiap menyantap kembali mimpi indahnya.
----
Rinjani, sang pemilik panti asuhan menggeleng ketika mendapati ketiga anak kesayanganya masih sibuk bermimpi. Ia membuka jendela dan menarik selimut yang digunakan oleh Pelangi, Mentari, dan Bulan.
“Banguuuuun! Sudah siang, tidak baik perempuan bangun pada siang hari!” pekikan Rinjani membuat tiga sekawan melompat kaget. “Apa kalian sudah solat subuh?” tanyanya.
Bulan menguap lalu mengangguk, “Sudah Bunda.”
“Baiklah, sekarang kalian bergegas mandi, sarapan sudah siap,” ucap Rinjani seraya berjalan ke ambang pintu.
“Tunggu Bunda!” Mentari memanggil Rinjani sebelum perempuan itu pergi. Rinjani menatap Mentari, terlihat sangat jelas sebuah tanda tanya besar terdapat di kepalanya. “Bagaimana cara mencari perkerjaan?”
Pertanyaan itu membuat Rinjani berjalan masuk kembali ke dalam kamar, “Maksudmu?”
“Ya Bunda, kami ingin bekerja, untuk mengumpulkan uang,” jawab Bulan seraya memandang Pelangi.
“Tapi untuk apa?”
“Bunda tahu kan cita-cita kami untuk berkeliling Indonesia?” Mentari memandang Rinjani penuh harapan, “untuk itu kami mengumpulkan uang.”
Rinjani mengangguk, “Baiklah, akan Bunda beritahu nanti, tapi sekarang kalian mandi dahulu,” ucap Rinjani lalu berjalan ke luar kamar.
---
Setelah mandi dan makan, tiga sekawan berjalan menuruni tangga dan menyambut teman-temannya dengan senyum yang mengembang. Mereka berjalan ke arah dapur dan disambut hangat oleh Rinjani yang tengah memakai celemek.
“Yuk, bantuin Bunda buat kue!” ucapan Rinjani dibalas anggukan oleh ketiganya.
Hampir seharian penuh mereka sibuk membuat kue, hingga satu pertanyaan keluar dari mulut Bulan.
“Ini kuenya untuk apa Bun?” pertanyaan itu seakan mewakili kebingungan yang dilanda tiga sekawan.
Rinjani tersenyum, “Kue ini untuk kalian jual nanti, uang hasil jualanya ditabung buat perjalanan kalian,” jawab Rinjani seraya mengusap kepala Bulan.
Rinjani Annisa, wanita hebat sang pemilik panti asuhan. Didampingi Tangguh, sang suami tercinta, mereka menjaga dan merawat anak jalanan dengan sepenuh hati tanpa pilih kasih sedikitpun. Alasanya sangat hebat, ia berpendapat bahwa anak-anak yang berada di lampu merah sana, mereka tidak memilih untuk berjualan tisu, koran, atau mengamen. Namun ada orang kejam yang memanfaatkan tenaga kerja mereka untuk kepentingan orang itu sendiri. Padahal, anak-anak tersebut memiliki potensi, harapan, serta peluang yang besar untuk menjadi sukses nantinya.
Mentari sangat kagum terhadap Rinjani, Ia memiliki pola pemikiran yang berbeda dengan banyak orang di luar sana.
“Mentari sayaaaang banget sama Bunda,” ucapnya seraya memeluk Rinjani.
Rinjani tersenyum, “Kalian semua anak kesayangan Bunda. Bunda juga sayaaaaaang banget sama kalian semua!” ucap Rinjani seraya mencubit hidung Mentari.
“Bunda, kuenya sudah di dalam oven lebih dari 10 menit! Apakah kuenya baik-baik saja?” tanya Samudra yang daritadi memperhatikan mereka untuk mengingatkan.
Rinjani mengacak rambut laki-laki berusia 7 tahun itu dengan gemas.
“Terima kasih Samudra, untung saja kamu mengingatkan. Pelangi tolong kamu cek apakah kuenya sudah matang?”
Pelangi berjalan ke arah oven. Ia membuka oven lalu menarik loyang kue ke luar. Setelah memastikan bahwa kue sudah matang, ia mengangkat loyang menggunakan sarung tangan lalu meletakan loyang di meja.
“Kue sudah matang, Bunda.”
“Wah, berarti sore ini kalian sudah dapat menjual kuenya,” ucap Rinjani seraya mengeluarkan kue dari loyang.
“Apa sebaiknya kita hias kuenya dulu, Bunda?” tanya Bulan, tangannya tidak berhenti mencolek krim kocok berwarna merah muda.
Rinjani menjauhkan krim kocok berwarna merah muda dari jangkauan Bulan, “Jangan dimakanin terus, nanti tidak cukup buat menghias kuenya!”
Bulan cemberut, ia menarik krim kocok biru muda lalu memakannya, “Bunda sih krim kocoknya diwarnain, kan jadi lucu, pengen Bulan cemilin,” ucapan Bulan mendapat gelengan dari Rinjani, ia menjauhkan semua krim kocok dari jangkauan Bulan. Rinjani segera menghias semua kue lalu memasukannya ke dalam Tupperware.
“Ini, kuenya sudah jadi. Kalian dapat langsung menjualnya,” ucap Rinjani dengan senyum yang mengembang. Tiga sekawan membalas dengan anggukan. Setelah mencium punggung tangan Rinjani, mereka bergegas pergi.
---
“Berjualan itu tidak mudah!” pekik Bulan yang sedari tadi tidak melihat seorang pun membeli kuenya.
Mentari tersenyum, “Cobalah kalian ajak mereka untuk membeli kue ini.”
Bulan dan Pelangi menaikan alisnya, “Ajak?”
Mentari mengangguk. Ia berjalan menjauh dari Bulan dan Pelangi.
“Perhatikan aku,” bisiknya.
Mentari berjalan ke arah sekumpulan remaja, “Kak, mau beli kue kami tidak? Rasanya sangat enak lho!” ucapnya.
Sekumpulan remaja tersebut tertarik untuk membeli kuenya. Tak lama, Mentari kembali dengan kue yang tinggal sedikit.
Pelangi dan Bulan menghela napasnya, “Oke, mari kita coba!”
“Baiklah, mari kita berpencar. Pada saat jarum pendek di angka 12, kita kembali lagi ke sini ya!” ucap Mentari.
Setelah mendapat anggukan setuju, mereka berpencar ke arah tempat yang ramai. Bulan pergi dengan Pelangi, sedangkan Mentari pergi seorang diri.
“Pstt, Bulan kita akan pergi setelah Mentari pergi,” bisik Pelangi.
Bulan menaikan alisnya, “Untuk apa?” tanyanya.
“Kau tahu bukan, bagaimana sulitnya berjualan?” tanya pelangi. “Kita akan tetap berjualan kue ini, tapi semalam aku berpikir untuk mengambil barang orang lain.”
Bulan membelalakkan matanya, “M-mma-maksudmu dengan mencuri?!” tanyanya dengan terbata-bata.
Pertanyaan Bulan dibalas anggukan mantap oleh Pelangi. Bulan melotot, bola matanya seperti hampir lepas, “Kau tahu bukan itu perlakuan yang tidak baik?!” pekiknya.
Pelangi menutup mulut Bulan dengan tangannya, “Jangan berisik, aku yakin Mentari juga suka dengan ideku. Dengan begitu, cita-cita kita akan tetap tercapai bukan? Apa kau tidak ingin melihatnya bahagia?” usai mengucapkan kalimat panjang itu, Pelangi tersenyum puas ketika Bulan sepertinya menerima usulannya.
“Baiklah, demi kebahagiaan Mentari,” ucap Bulan seraya mengacungkan kelingkingnya.
“Demi kebahagiaan Mentari,” ucap Pelangi seraya mengaitkan kelingkingnya pada kelingking Bulan.
Mereka mulai melakukan aksi menyeramkan itu tanpa sepengetahuan Mentari. Bulan dan Pelangi berjalan menuruni tangga MRT, mencuri beberapa dompet lalu kembali ke jalan raya.
---
Jarum jam melompat ke arah angka 12 dan tiga sekawan sudah berkumpul di tempat awal.
“Apakah kue kalian habis?” Pekik Mentari dengan senyum yang mengembang.
Senyuman itu, ah, membuat Bulan menjadi tidak enak kepada Mentari.
“Kue kami habis. Yuk segera pulang agar kita bisa menghitung uang hasilnya!” ajak Bulan seraya menarik tangan Mentari. Mereka menaiki angkutan umum dan melaju ke arah panti asuhan.
“Assalamualaikum, Bundaaaaa!” pekik Mentari ketika ia memasuki panti asuhan.
“Waalaikumussalam. Kalian sudah pulang. Bagaimana hasil penjualannya?” tanya Rinjani berseri-seri.
“Laris manis, Bun!” tiga sekawan meletakan uang penghasilan di atas meja lalu menghitungnya.
“Baik, hitunglah dengan benar, Bunda ingin ke belakang,” ucap Rinjani lalu berjalan ke belakang panti.
Mentari menaikan alisnya. Bingung ketika penghasilan mereka sangat lebih.
“Pelangi, Bulan, mengapa hasil berjualan kalian sangat lebih?” tanyanya kemudian.
Pelangi yang mendapat pertanyaan itu menaikan alisnya bingung, “Bukannya lebih baik ya kalau penghasilan kita menjadi banyak?”
“Tapi ini di luar batas wajar. Dengan uang sebanyak ini kita bisa berkeliling Indonesia selama berbulan-bulan,” jawab Mentari.
“Kamu harusnya senang dong, kita bisa mengelilingi Indonesia? Ini kan mimpimu!” pekik Pelangi.
Mentari tertawa meremehkan, “Mimpiku? Apa kau bermimpi? Kita semua melakukan ini untuk mewujudkan mimpi kita, bukan hanya aku!” Mentari menoleh ke arah Bulan, “jawab aku, dari mana kalian mendapatkan uang sebanyak ini?!”
Bola mata Bulan memburam. Ia menggigit bibir guna menahan tangis.
“Pelangi berusul untuk mencuri agar uang perjalanan lebih mudah terkumpul,” jawab Bulan dengan tangis.
Mentari menarik napasnya, “Aku lebih baik merelakan mimpiku untuk berkeliling Indonesia tapi berakhir di surga dibanding meneruskan mimpiku tapi berujung di neraka!” ucapnya dengan lantang dan berani. “Sekarang katakan padaku, dari mana kalian mencuri uang ini?!”
Lagi-lagi Bulan yang menjawab, “Kami mencuri 4 dompet di stasiun MRT.”
“Baiklah, akan kukembalikan,” ucap Mentari lalu berlari ke luar panti asuhan menuju MRT.
---
Setelah sampai di stasiun MRT, Mentari segera berlari ke arah tempat “Lost and Found” lalu mendapati empat wanita berusia sekitar empat puluh tahunan yang tengah menangis akibat kehilangan dompetnya. Ia segera mendekati keempat wanita tersebut.
“Permisi bu, apakah ini dompet ibu?” tanyanya.
Ibu-ibu tersebut menaikan tatapannya, “Alhamdulillah, Jeng, dompet kita ketemu!” pekik salah satu wanita itu.
“Alhamdulillah, terimakasih ya, Dik. Dompet ini berharga banget buat saya.”
Mentari menunduk ketika rasa malu menggeliat di hatinya.
“Bu, maafin teman saya ya. Mereka sedang putus asa, makanya melakukan hal keji ini,” ucap Mentari.
Para wanita tersebut saling pandang. Lalu, satu di antara keempatnya bertanya, “Kalo boleh tau, putus asa karena apa ya?”
“Kami sedang ingin berkeliling Indonesia Bu, tapi biayanya tidak ada. Jadi, mereka putus asa berjualan kue dan akhirnya mencuri. Ya sudah Bu, saya pergi dulu, assalamualaikum,” jawab Mentari lalu berbalik.
“Tunggu dulu!” tahan salah satu wanita tersebut.
“Dik, saya bangga dengan kejujuranmu, terimakasih telah jujur. Kebetulan, kami mempunyai agensi travel yang sedang membutuhkan 3 orang perkerja untuk menyukseskan pemberangkatan keliling Indonesia. Kalau kamu berkenan, kami bisa bantu memberangkatkan dan membiayai keperluan kalian di sana nantinya,” ucap seorang wanita lainya.
“Benarkah?!” pekik Pelangi dan Bulan yang ternyata tanpa Mentari sadari mengikutinya.
Mentari menengok ke belakang, “Bisakah kami berbicara sebentar, Bu?” tanya Mentari yang mendapat anggukan dari para wanita tersebut.
Mentari berjalan menjauh bersama Bulan dan Pelangi.
“Terimalah,” ucap Pelangi. “Aku menyesal telah mencuri dan mungkin ini jalan terbaik yang Allah berikan kepada kita.”
Mentari menatap Bulan yang mengangguk.
“Baiklah, akan kami terima,” ucapnya setelah mendekat ke arah para wanita tersebut.
“Baiklah, izinkan saya untuk berbicara kepada orang tua kalian dahulu. Ini kartu nama saya. Berikan kepada orang tua kalian dan suruh mereka menelepon saya,” ucap ibu tersebut.
“Baiklah, kami duluan,” ucap para wanita lainnya, lalu mereka pergi.
Setelah mendapat restu dari Rinjani dan Tangguh, akhirnya tiga sekawan dapat berkeliling Indonesia dengan cara yang halal. Pelangi kini paham bahwa Allah akan memberi mereka jalan keluar apabila mereka mau berusaha.
Mantap Nadine ...👍
ReplyDelete